(Pengakuan Abdul Wachid Salah Satu
Pengawal Kiai Abbas Buntet Waktu Perang 10 November 1945 di Surabaya)
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka setelah penjajah Jepang
tidak berdaya. Pada tanggal 29 September 1945 tentara sekutu (Inggris) yang bertugas
sebagai Polisi Keamanan mendarat di berbagai kota besar di Jawa dan Sumatra, di
antaranya adalah di kota Surabaya. Mereka bermaksud untuk melucuti persenjataan
tentara Jepang. Ternyata, Belanda membonceng tentara Inggris dan melakukan
tindakan-tindakan anarkis.
Tentu rakyat Indonesia yang telah merdeka tidak ingin kedaulatannya
dikoyak-koyak kembali oleh Belanda. Maka meletuslah perang dahsyat yang
terkenal dengan “Perang 10 November”. Namun rakyat Surabaya tidak dapat berbuat
banyak, bahkan telah mundur ke luar kota Surabaya. Selain itu, mereka juga
menunggu kiai dari Cirebon. Karena menurut khadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari
perlawanan akan dimualai nanti kalau sudah datang ulama dari Cirebon. Dan ulama
yang dimaksud adalah KH. Abbas.1
Bagaimana perjalan Kiai Abbas ke Surabaya? Berikut ini penuturan
Abdul Wachid, satu-satunya pengawal Kiai Abbas yang memberikan kesaksian secara
tertulis melalui H. Samsu pada tahun 1998.
Pada hari itu, kalau tidak salah, tanggal 6 November 1945 saya dengan
tiga orang yaitu Usman, Abdullah dan Sya,rani mendapat tugas dari Detasemen Hizbullah
Resimen XII/SGD untuk mengawal Kiai Abbas ke front Surabaya.
Pada jam 06.30 rombongan kami, dengan diiringi pasukan Hizbullah
Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat meninggalkan Markas Detasemen menuju
stasiun Prujakan Cirebon. Rombongan kami, selain tiga pengawal serta Kiai
Abbas, juga ikut Kiai H. Achmad Tamin dari Losari sebagai pendamping Kiai
Abbas. Selanjutnya kami naik Kereta Api Express.
Pada waktu itu, Kiai Abbas mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung
plekat bersorban dan beralas kaki trumpah (sandal japit kulit). Kiai Abbas
menyerahkan sebuah kantong pada saya. Setelah saya raba-raba, ternyata isinya
bakyak. Saya sempat heran bahkan tertawa sendiri, untuk apa bakyak ini?
Bukankah Kiai sudah memakai trumpah? Atau senjata perang? Masa senjata kok
bakyak?
Pada sekitar jam 17.00, kereta api yang kami tumpangi telah masuk di
stasiun Rembang Jawa Tengah. Ternyata sudah banyak orang yang
menunggu. Lalu kami diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri di Rembang.
Pada malam harinya, ba’da salat isya, para ulama yang jumlahnya
diperkirakan lebih dari 15 orang, mengadakan musyawarah untuk menentukan
komando/pemimpin pertempuran di Surabaya. Hasil musyawarah memutuskan bahwa
komado pertempuran dipercayakan kepada Kiai Abbas.
Ba’da salat subuh, pondok pesantren Rembang sudah ramai. Para santri
sudah siap berangkat ke Surabaya, dan banyak pula yang berseragam Hizbuillah.
Di halam masjid sudah ada dua mobil sedan kuna yang berkapasitas empat orang
penumpang. Bapak Kiai Abbas memanggil saya dan rekan-rekan pengawal dari
Cirebon. Beliau meminta bingkisan (bakyak) yang dititipkannya pada saya. Beliau
juga menyuruh kepada kami, pengawal dari Cirebon, untuk tidak ke mana-mana
sampai beliau kembali dari Surabaya.
Setelah itu, Kiai Abbas naik salah satu mobil dengan Kiai Bisri di
jok belakang sementara H. Achmad Tamin duduk di depan dengan sopir. Sedang
sedan yang satunya lagi berpenumpang empat orang kiai yang saya sendiri tidak
tahu namanya. Dengan diiringi pekik takbir “ALLAHU AKBAR!!!”, dan pekik MERDEKA
!!! yang saling bersahutan, rombongan kiai itu perlahan-lahan bergerak
meninggalkan pondok pesantren Rembang.
Sudah hampir sepekan kami berada di Pondok pesantren Rembang. Tiada
kabar berita apa-apa. Ini membuat kami gelisah. Ingin rasanya menyusul ke
Surabaya kalau saja tidak ada pesan dari Kiai untuk tidak boleh ke mana-mana.
Baru pada tanggal 13 November 1945, ada beberapa laskar Hizbullah (santri
pokdok pesantren Rembang) yang datang. Kedatangannya disambut oleh
santri-santri termasuk kami dan langsung dibrondong pertanyaan-pertanyaan
tentang situasi peperangan Kota Surabaya.
Menurut cerita santri Rembang yang baru datang tersebut, begitu
rombongan para kiai datang, langsung disambut dengan gemuruh takbir dan pekik
merdeka. Lalu para kiai tersebut masuk ke masjid dan melakukan salat sunnah.
kemudian Kiai dari Cirebon (Kiai Abbas-red) memerintahkan kepada pendamping
beliau (Kiai H. Achmad Tamin-red) untuk berdoa di tepi kolam masjid. Dan kepada
Kiai Bisri dari Rembang beliau (Kiai Abbas-red) memohon agar memerintahkan para
laskar / pemuda-pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudlu dan meminum
air yang telah diberi doa. Segera saja para laskar / pemuda-pemuda itu
berebutan, bahkan ada yang merasa kurang dengan hanya berwudlu dan menerjunkan
diri masuk ke dalam kolam.
Kemudian, bagaikan lebah keluar dari sarangnya, pemuda-pemuda dari
segala lapisan Badan Perjuangan AREK-AREK SUROBOYO menyerbu Belanda dengan
diringi takbir dan pekik merdeka yang bergemuruh di seluruh penjuru kota
Surabaya yang didisambut dengan rentetan tembakan gencar dari serdadu Belanda.
Korban dari kedua belah pihak pun tak terelakkan berjatuhan, terutama dari
pihak kita yang hanya bersenjata bambu runcing, pentungan atau golok seadanya
yang disongsong dengan semburan peluru dari berbagai senjata otomatis modern.
Sungguh tragis dan mengerikan.
“Kami dengan para kiai berda di tempat yang agak tinggi, jadi jelas
sekali dapat melihat keadaan di bawah sana”, jelas santri Rembang yang ternyata
pengawal Kiai Bisri Rembang. Saat itu, lanjut cerita santri Rembang, Kiai
Cirebon (Kiai Abbas-Red) mengenakan alas kaki bakiak berdiri tegak di halaman
masjid. Kemudian beliau membaca doa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit.
Kiranya doa beliau terkabulkan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri
keajaiban yang luiar biasa. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat
padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang
serdadu – serdadu Belanda. Suaranya bergemuruh bagaikan air bah sehingga
Belanda kewalahan dan merekapun mundur ke kapal induk mereka.
Tidak lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat Bomber Hercules.
Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara sebelum bereaksi. Kemudian
beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi yang maksudnya akan akan
menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya, namun beberapa pesawat
itupun mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum bereaksi. “disitulah
kehebatan Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) yang dapat saya saksikan sendiri”,
tandas santri Rembang meyakinkan para santri.
Keesokan harinya, lanjut cerita santri Rembang, pihak musuhpun datang
lagi berbondong-bondong berupa kompi tang-tang / mobil baja dan truk-truk
menyerang kubu-kubu pertahanan tentara / laskar kita yang didiringi oleh
dentuman kanon dan mortir serta rentetan tembakan tembakan 12,7 dari pesawat
udara yang cukup banyak jumlahnya sehingga tentara dan laskar kita banyak yang
gugur dan terpaksa mundur di pinggir kota Surabaya.
Menjelang malam hari tiba, pertempuran baru agak mereda. Hanya
beberapa tembakan kecil saja yang masih terdengar di sana sini.
Kemudian kami diperintah pulang oleh Pak Kiai (Kiai Bisri-red) untuk
menyampaikan berita keadaan di front Surabaya kepada keluarga dan warga Pondok Pesantren bahwa
pak kiai dan para alim ulama lainnya dalam keadaan selamat sehat wal afia, dan
dianjurkan kepada semua warga pondok dan masyarakat Rembang untuk berdoa
memohon kepada Allah SWT atas perlindungan, keselamatan dan kemenangan bagi
para pejuang kita yang dalam pertempuran melawan dan mengusir penjajah Belanda
dari bumi Indonesia.
Tiga hari kemudian, menjelang pagi, Kiai Abbas dengan pendampingnya
Kiai H. Achmad Tamin dan Kiai Bisri Rembang serta beberapa kiai lainnya datang.
Kami tidak banyak memperoleh informasi dari beliau-beliau tentang kejadian
Surabaya. Setelah subuh, kami para pengawal dari Cirebon diperintahkan
berkemas-kemas untuk pulang kembali ke Cirebon.
Dengan menumpang Kereta Api Express jam 06.00, kami bertolak
meninggalkan Rembang dan tiba di Cirebon dengan selamat pada jam 17.30.
sepanjang perjalanan dari Rembang ke Cirebon, tidak banyak yang kami bicarakan,
karena Kiai Abbas dalam kelelahan dan kantuk yang amat sangat karena selama di
Surabaya beliau kurang istirahat dan kurang tidur.
Demikianlah yang bisa saya sampaikan. Dan mohon maaf atas segala kelupaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar