Di antara hal yang paling berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang adalah peran seorang guru. Dalam persepakbolaan, orang yang bermain sepak bola selama 20 tahun, namun tidak pernah mempunyai pelatih, kemampuannya akan biasa-biasa saja, sepintar apa pun dia dan meskipun ia setiap hari berlatih dan bermain sepak bola.
Berbeda dengan orang yang bermain sepak bola di bawah asuhan pelatih. Ia akan mempunyai skill lebih baik daripada orang yang tidak mempunyai pelatih sama sekali, walaupun terkadang dalam sehari atau seminggu dia tidak bermain sepak bola di lapangan sama sekali.
Bahkan dengan hal-hal yang tidak penuh merumput di lapangan, seperti sehari ini hanya dribbling, besok lagi hanya sepak pojok, besok lagi lari cepat dan sebagainya, ia akan mempunyai kemampuan lebih daripada pemain yang tidak mendapatkan arahan pelatih, sepintar apapun orang tersebut.
Apalagi orang yang belajar agama, ilmu untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah subhânahu wata’ala, tentu sangat membutuhkan pelatih yang andal. Dalam hal ini guru atau kiai yang tepat bisa mendidik dengan sempurna. Apa pun yang diperintahkan guru, harus ia patuhi dan laksanakan oleh murid.
Seperti sikap KH Abdul Karim (Mbah Manab Lirboyo) di hadapan gurunya, Syaikhona Kholil Bangkalan. Sehingga Pesantren Lirboyo yang sebesar sekarang, di antaranya merupakan hasil dari tirakat kiainya saat mereka menjadi santri di masa silam.
Manab—nama kecil KH Abdul Karim—saat mondok di Syaikhona Kholil merangkap kerja sebagai buruh, termasuk buruh memanen padi dengan ani-ani kepada masyarakat sekitar pesantren. Ani-ani atau ketam adalah sebuah pisau kecil yang dipakai untuk memanen padi. Dengan ani-ani, tangkai bulir padi dipotong satu-satu.
Manab—nama kecil KH Abdul Karim—saat mondok di Syaikhona Kholil merangkap kerja sebagai buruh, termasuk buruh memanen padi dengan ani-ani kepada masyarakat sekitar pesantren. Ani-ani atau ketam adalah sebuah pisau kecil yang dipakai untuk memanen padi. Dengan ani-ani, tangkai bulir padi dipotong satu-satu.
Setelah selesai, Abdul Karim mendapatkan pembagian upah menuai padi yang berdasarkan banyak sedikitnya padi yang dipotong tersebut, atau biasa dikenal dengan sebutan bawon.
Saat ia sudah mendapatkan bawon, tiba-tiba Syaikhona Kholil memerintahkan kepada santrinya bernama Abdul Karim tersebut. “Nak, bawon kamu nggak usah kamu makan ya. Kamu makan di belakang saja, ngikutsama Ibu Nyai! Bawon itu kasihkan kepada fakir miskin!”
Seperti sapi yang dicocok hidungnya. Hasil jerih payah di bawah matahari nan terik di atas sawah, ia bagi semuanya kepada fakir miskin tanpa sisa.
Dan benar, sebagaimana yang kita saksikan, atas ketulusan hati KH Abdul Karim muda dengan kini, kita dapat menykasikan panen keberkahan yang terlimpahkan kepada beliau dengan Pesantren Lirboyo yang ntampak seperti sekarang ini.
Kisah di atas ini disampaikan oleh KH Agus Ali Masyhuri, Tulangan, Sidoarjo. (Ahmad Mundzir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar